Terkadang ada rasa sedih manakala melihat banyak sekali uang dihabiskan dan dihamburkan selama bulan puasa dan Lebaran. Habis dengan alasan kegembiraan menyambut hari yang penuh dengan arti dan makna sementara arti dan maknanya sendiri terlupakan. “Membersihkan hati” menjadi hanya sekedar “upacara dan perayaan” semata yang menghilangkan maksud serta tujuan dari ibadahnya itu sendiri.
Baju baru, pakaian baru, barang-barang baru menjadi simbol kemenangan dan bahkan menjadi sebuah simbol atas prestasi pencapaian. Uang pun dibagikan bukan hanya sebagai pemberian yang tulus dan ikhlas tetapi juga menjadi sebuah “prestige” agar mendapatkan “nilai” di mata masyarakat. Pulang kampong pun bukan hanya sekedar melepas rindu tetapi juga sekalian pamer bukan?!
Barangkali, saya yang salah. Toh, semua itu sah-sah saja dilakukan karena merupakan hak pribadi setiap orang. Pertanggungjawabannya juga bukan kepada saya, tetapi langsung kepada Sang Maha Kuasa. Saya hanya prihatin saja bila setiap kali habis Lebaran, banyak yang terlilit hutang dan kerja keras selama ini habis begitu saja dalam sekejap. Padahal, bisa digunakan untuk sesuatu yang lebih bermanfaat dalam jangka panjang.
Teringat dengan seorang perempuan yang menangis di rumah karena meminta pekerjaan di bulan puasa ini. Ketika saya tanya, kenapa baru bekerja sekarang?! Dia menjawabnya, “Saya tak punya uang untuk membelikan anak saya baju Lebaran, Bu!”
Saya hanya bisa menarik nafas panjang. Sebegitu pentingnyakah pakaian baru untuk Hari Raya?! Bila memang ingin membahagiakan anaknya, tidak perlu memaksakan diri bekerja hanya untuk baju baru bukan?! Ada yang lebih penting dari sekedar baju baru dan kenapa tidak bekerja sebelumnya?! Kenapa hanya untuk Lebaran saja?! Bagi saya, tentunya hal ini tidak bisa diterima oleh akal sehat maupun hati nurani. Inti dari Lebaran bukan pada baju baru dan bila hanya dimaknai dengan baju baru semata, hati saya tidak bisa menganggapnya sebagai sebuah penghinaan terhadap apa yang saya yakini.
Sebetulnya, yang paling membuat saya sedih adalah selama bulan puasa dan perayaan Idul Fitri, “penjualan agama” selalu saja marak. Semua berlomba untuk bisa tampil seolah memang baik, benar, dan suci dengan alasan karena bulan puasa. Di mana bulan puasa menjadi bulan penghapusan dosa atas segala perbuatan buruk yang telah dilakukan sebelumnya. Lalu, bagaiaman setelah bulan puasa dan Idul Fitri berlalu?! Akankah semuanya terus berulang?!
Hingga saat ini, saya masih belum juga bisa mengerti bagaimana manusia bisa menghitung dosa dan kebaikan diri sendiri dan manusia lainnya. Memang semua itu bisa saja dihitung berdasarkan angka-angka yang ada di dalam tuntunan, tetapi apakah kita benar mampu menghitung semua itu?! Lalu, bagaimana juga kita bisa menentukan siapa yang berhak masuk surga dan siapa yang tidak?! Apakah kita ini manusia ataukah Tuhan?! Kenapa kita harus memperhitungkan segala pahala dan kebaikan yang kita perbuat?! Bukankah seharusnya kita tulus dan ikhlas di dalam memberikan dan melakukannya sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh-Nya?! Memangnya semua ini dagang, ya?! Siapa pedagang, siapa pembeli?!
Jika memikirkan semua ini, saya jadi malu hati sendiri. Apa yang telah salah saya lakukan hingga semua ini harus terjadi. Saya selalu yakin bahwa yang terbaik dan terindah diberikan oleh-Nya dan bagi saya, sementara di sisi lain, Dia adalah panglima saya yang tidak perlu saya bela. Dia tentunya lebih dari segalanya sehingga sudah sepatutnya saya menyerahkan semua kembali pada-Nya. Dia jauh lebih tahu apa yang harus dilakukan dan diperbuat. Saya tak akan pernah mampu menguak rahasia apa yang sebenarnya sedang Dia lakukan.
Pasrah tentunya tidak berarti duduk diam dan tidak melakukan apa-apa juga. Sudah sepantasnya saya melakukan sesuatu sesuai dengan kemampuan saya. Saya sudah diberikan anugerah yang luar biasa, hati dan pikiran yang keduanya membuat saya bisa disebut sebagai manusia, sehingga sudah sepatutnya saya berterima kasih dengan berusaha untuk menjadi manusia sejati yang seutuhnya. Meskipun saya memiliki banyak kekurangan di sana sini tetapi bukan berarti semua itu menjadi penghalang karena anugerah yang telah diberikan-Nya, jauh lebih besar dari semua itu.
Kita semua sadar penuh dengan bagaimana keadaan bangsa dan Negara kita ini. Kenapa kita tidak juga mau memperbaiki keadaan?! Kenapa kita semua selalu saja asyik dengan diri sendiri dan kelompok kita sendiri dengan mengatasnamakan dan dengan berbagai alasan untuk membenarkan. Kita menjadi manusia-manusia yang egois dan tinggi hati. Apa yang kita lakukan hanyalah untuk diri kita sendiri dan bukan untuk semua. Apa yang kita lihat, dengar, rasakan, dan pelajari pun hanya yang kita inginkan saja bukan?! Jika berbeda atau dari sudut pandang yang lain, maka salah dan tidak benar. Begitukah?!
Kebiasaan yang dianggap budaya pun tidak dipedulikan apa memang baik atau benar tetapi karena “sudah biasa”. Kita tidak mau belajar bagaimana kebiasaan dan budaya itu bisa terjadi dan terbentuk dan kenapa hingga semua itu ada. Tidak juga mau belajar untuk mengerti dan paham apa maksud dan tujuan dari setiap kebiasan dan budaya yang bisa saja merupakan bentukan dari sebuah penghancuran. Kenapa, sih, sedemikian keras kepala dan sombongnya?!
Anehnya, bila disebut keras kepala dan sombong tidak mau. Selalu saja maunya disebut rendah hati dan mau belajar. Jika memang benar demikian, seharusnya wawasan dan pengetahuan menjadi lebih berkembang dan lebih baik sehingga kualitas diri pun semakin meningkat. Hati pun menjadi lebih peka dan sensitif terhadap segala sesuatunya. Tidak ada lagi alasan dan segala pembenaran, rasio hati dan rasio otak pun menjadi seimbang hingga bisa benar-benar rasional dan objektif. Jika alasannya adalah butuh proses dan waktu, lalu kapan mau dimulainya?!
Sabar?! Tentunya mudah untuk menuntut yang lainnya untuk bisa bersabar dan memiliki kesabaran sementara tidak mudah sama sekali untuk bisa menjadikan diri sebagai orang yang benar sabar dan memiliki kesabaran. Sabar itu bukan berarti menunda tetapi mau mengikuti setiap proses yang ada dan tidak hanya melihat hasilnya saja. Sabar itu berarti mau terus introspeksi diri dan tidak menunjuk jari terus dan dengan segala kerendahan hati, mau terus belajar dan belajar. Sabar itu bukan terus mengeluh dan menganggap diri sebagai orang yang paling menderita tetapi orang yang mau terus tegar dan berusaha sekeras mungkin untuk bisa memberikan yang terbaik.
Yah, saya juga tidak pernah berhak menuntut segala macam dari semua. Siapa, sih, saya?! Memangnya apa yang sudah saya berikan sehingga saya layak dan patut untuk menuntut dan memaksa?! Apakah saya sudah memenuhi kewajiban saya sepenuhnya?! Mampukah saya mempertanggungjawabkan semuanya di hadapan-Nya kelak nanti?!
Semua ini hanyalah perenungan saya tentang puasa dan Idul Fitri kali ini. Semoga saja puasa dan Idul Fitri kali ini benar-benar memiliki arti dan makna. Semoga juga kehidupan dan masa depan menjadi lebih baik lagi dengan segala ketulusan dan kesucian hati serta pikiran, ya! Amin.
Mohon maaf lahir dan bathin. Maafkan segala pikiran, kata, dan perbuatan salah yang tidak berkenan dan tidak baik. Selamat Hari Raya Idul Fitri. Berkah bahagia bagi kita semua.
Salam hangat penuh cinta selalu,